Pada zaman sebelum merdeka dan sebelum Desa Cimari terbentuk, ada orang yang gagah berani yaitu :
Konon Ke lima “sesepuh” tersebut masih keturunan Kerajaan Kawali, ke lima sesepuh hidup saling berdampingan bersama-sama dengan warga masyarakat sekitarnya dan sebagai sumber penghidupan pada waktu itu dari hasil pertanian baik pertanian tanaman pangan, peternakan maupun perikanan.
Dalam keadaan dan situasi sedang aman tentram tiba-tiba dihebohkan dengan kejadian adanya seekor badak besar mengamuk, ternyata badak tersebut adalah badak yang biasa berkubang di suatu tempat yaitu di Lembah Mah Gunung. Badak tersebut terus mengamuk merusak “tatanen” rakyat sehingga meresahkan warga masyarakat dan akhirnya ke lima “sesepuh” berembuk untuk menentukan cara menangkap badak tersebut.
Pada mulanya ke lima sesepuh mengadakan sayembara barang siapa yang dapat menangkap badak akan diberi hadiah. Walau disediakan hadiah namun tak seorang pun warga yang berani menangkap badak tersebut. Akhirnya ke lima “sesepuh” mempercayakan kepada Eyang Setia Tirta Wiguna untuk menangkap badak tersebut.
Untuk melumpuhkan badak Eyang Setia Tirta Wiguna menyiapkan senjata berupa tongkat terbuat dari Haur Kuning, Usaha Eyang Setia Tirta Wiguna untuk melumpuhkan badak ternyata mendapat perlawanan sehingga terjadi pergumulan sengit antara keduanya. Pada pergumulan tersebut Eyang Setia Tirta Wiguna mengeluarkan senjatanya yaitu haur kuning yang langsung ditusukan dan tepat mengenai sasaran, namun senjata tersebut tidak dapat mulumpuhkan bahkan badak tersebut makin mengamuk. Karena tidak dapat dilumpuhkan maka Eyang Setia Tirta Wiguna langsung meloncat dan duduk di atas punggung badak yang sedang mengamuk.
Ketika Eyang Setia Tirta Wiguna berada di atas punggung badak, bukannya badak tersebut diam malahan mengamuk menjadi-jadi, terus berlari dan sampai ke suatu tempat yaitu Cihaurbeuti. Dari Cihaurbeuti badak terus mengamuk dan kembali lagi, sempat singgah di daerah Gunung Cupu dan dilanjutkan galungan (berkelahi) di daerah Cikoneng. Dari Cikoneng kembali ke Lembah Mah Gunung dan galungan (berkelahi) diteruskan. Karena lama dan sengitnya galungan, keduanya kehabisan tenaga dan akhirnya badak maupun Eyang Setia Tirta Wiguna mati. Kesepakatan keempat sesepuh, Eyang Setia Tirta Wiguna dan badak dikuburkan di Lembah Mah Gunung. Sepeninggal Eyang Setia Tirta Wiguna untuk mengenang bagi generasi selanjutnya daerah itu dinamakan Cimari mengambil dari nama seorang sesepuh yaitu Nyi Mas Cimari, karena Nyi Mas Cimari adalah satu-satunya perempuan kegagahan dan kesaktiannya setara dengan Eyang Setia Tirta Wiguna.
Pada saat masih penjajahan Belanda sekitar Tahun 1932 Ratu Wilhelmina menunjuk Bapa Karna Suanda sebagai Kepala Desa pertama di Desa Cimari dan sekaligus meresmikan terbentuknya Desa Cimari. Sehingga Desa Cimari lahir pada tahun 1932 dengan Kepala Desa pertama Bapa Karna Suanda.
Setelah lahirnya Cimari dua orang dari keempat sesepuh yaitu Nyi Mas Cimari dan Eyang Tajur Halang dipercaya untuk mengurus Labuan Bulan atau air yang mengalir berasal dari tanah agar daerah pertanian dan perikanan tetap subur. Labuan Bulan berada di daerah/lembur Rancabala yang artinya, Ranca adalah sawah jero dan bala artinya tidak terpelihara. Karena airnya berlimpah berasal dari Labuan Bulan ditambah lagi air yang mengalir dari Selokan Curug Rawi, oleh Nyi Mas Cimari dan Eyang Tajur Halang tempat tersebut dijadikan situ. Lama kelamaan situ tersebut dihuni oleh ikan dan makin hari ikan tersebut bertambah banyak dan menjadi besar karena terus menerus berkembang biak. Situ tersebut dikelola langsung oleh Nyi Mas Cimari dan Eyang Tajur Halang dan untuk menjaga kelestarian, maka Nyi Mas Cimari dan Eyang Tajurhalang melarang kepada siapapun untuk mengambil dan mengganggu ikan yang ada pad Situ tersebut.
Dua orang yang sama-sama memiliki kadugalan yaitu Nasir dan Mukida yang pekerjaannya sebagai garong sangat tertarik dengan keberadaan Situ. Kedua orang tersebut mencoba mengganggu keberadaan ikan di Situ tersebut dengan cara nyair untuk mengambil ikan. Tindakan kedua orang tersebut dilaporkan oleh warga kepada Nyi Mas Cimari dan Eyang Tajurhalang, maka diperingatilah kedua orang tersebut, namun mereka tidak terima nasihat dan akhirnya mereka terjadi pertengkaran.
Karena merasa terus menerus diawasi, Nasir dan Mukida berencana mencuri ikan secara besar-besaran alat penangkap ikan yaitu jala. Maksud tersebut dilakukan pada malam hari, sehingga dengan leluasa mengambil ikan dan hampir semua jenis ikan yang ada terangkat.
Keesokan harinya pada waktu siang hari dengan cuaca terang benderang Nyi Mas Cimari dan Eyang Tajurhalang sedang melaksanakan tugasnya memeriksa Situ, alangkah terkejutnya melihat air Situ menjadi keruh.
Karena merasa penasaran, maka berkelilinglah Nyi Mas Cimari dan Eyang Tajur Halang di sekitar Situ dan saat berkeliling tersebut menemukan jala. Oleh sebab itu daerah itu terus dinamakan Jalatrang yang artinya Jala adalah alat penangkap ikan dan trang adalah siang hari.
Nasim dan Mukida tidak henti-hentinya berbuat jahat, setelah mencuri ikan dari Situ, keduanya kembali merencanakan mencuri ikan ke daerah lain yaitu daerah yang masih berdekatan dengan Situ karena di daerah tersebut ada kolam luas yang masih ada hubungannya dengan Situ. Pada saat Nasir dan Mukida akan kembali melaksanakan niat jahatnya untuk mencuri ikan, tiba-tiba jalanya tidak bisa digerakan. Karena tidak bisa melaksanakan niat jahatnya Nasir dan Mukida beristirahat dan keduanya tertidur pulas selama tiga hari tiga malam di bawah kolong rumah penduduk. Hal ini diyakini oleh warga bahwa Nasir dan Mukida tidak dapat melaksanakan niat jahatnya bahkan tertidur di kolong rumah karena pengaruh kesaktian Aki Hulaemi putra dari Eyang Rajak.
Sebelum warga melaporkan kejadian tersebut kepada sesepuh yaitu Nyi Mas Cimari dan Eyang Tajurhalang, warga melaporkan terlebih dahulu kepada Aki Hulaemi. Karena keberaniannya Nasir dan Mukida mengetahui dirinya dilaporkan kepada Aki Hulaemi, bukan menghindar dari Aki Hulaemi malahan mendatanginya. Ketika itu Aki Hulaemi sedang membelah awi gombong Nasir dan Mukida mendatanginya sambil mengajak berkelahi, namun tidak ditanggapinya. Merasa diacuhkan Nasir dan Mukida mengeluarkan golok dengan niat menghabisi Aki Hulaemi. Untuk menghindari jatuhnya korban dan menyadarkan Nasir dan Mukida, maka usaha yang dilakukan Aki Hulaemi memperlihatkan kesaktiannya. Kesaktian yang diperlihatkan di depan Nasir dan Mukida, Aki Hulaemi membelah bambu/awi gombong menjadi beberapa pecahan tanpa menggunakan senjata tetapi dengan tangan kosong.
Merasa dirinya tidak akan mampu melawan kesaktian Aki Hulaemi walau dengan senjata golok, maka Nasir dan Mukida pun akhirnya takluk dan minta ampun.
Untuk menghukum mereka berdua Aki Hulaemi memerintahkan kepada Nasir dan Mukida untuk memakan buah asam karanji sebanyak-banyaknya. Karena saking banyaknya memakan buah asam karanji, Nasir dan Mukida tidak terasa giginya rontok. Setelah Nasir dan Mukida merasa tidak kuat dan merasa kenyang memakan asam karanji, keduanya mencari air minum atau sumber air. Setelah lama berjalan keduanya menemukan daerah yang lengkob dan dibawahnya mengalir sumber air (cai nyusu). Sewaktu bermaksud mengambil air mereka sangat kaget begitu melihat air yang terdapat pada lengkob tersebut terdapat bayang-bayang dirinya didalam air, merekapun pingsan.
Dari runtutan kejadian penghukuman Nasir dan Mukida tersebut, maka Aki Hulaemi memberikan nama kepada kampung yang ada pohon Asam Karanji dengan bentuk daratannya rata dengan nama Kampung Ranjirata. Saat ini kampung Ranjirata menjadi Dusun Ranjirata.
Adapun daerah dimana tempat rontoknya gigi Nasir dan Mukida diberi nama Kampung Cikarohel. Blok Kosambi maupun Blok Cikarohel sekarang berada di suatu wilayah yaitu Dusun Desa Wetan.
Daerah dimana Nasir dan Mukida pingsan setelah melihat bayangan dirinya pada air leuwi dinamakan Kampung Leuwi Eunteung yang mengndung arti air yang berada di leuwi karena jernihnya bisa dipakai untuk bercermin (ngeunteung). Daerah Leuwi Eunteung sekarang terletak di Wilayah Dusun Desa Kulon.
Di suatu tempat sebelah utara Ranjirata terdapat daerah yang dilewati aliran sungai dengan keadaan airnya yang jernih, Sungai tersebut berada di sebuah bukit dan terus menerus mengalir dan jatuh di suatu lembah pada tanah yang lengkob.
Air yang mengalir dari Omyai Nyurug dan jatuh di tanah lengkob dengan suara gemuruh karena suara jatuhnya air dari tempat yang cukup tinggi, oleh warga setempat daerah ini dinamakan Blok Curug. Nama Curug diambil dari air yang mengalir dari aliran Omyai terus jatuh (nyurug) ke tanah lengkob.
Karena pengaruh dari proses alam air curug tersebut lama kelamaan menjadi sirna dan berubahlah Blok Curug menjadi Blok Sukasirna yang mengandung arti curug yang biasanya dimanfaatkan oleh warga sekitarnya juga berikut pemandangannya menjadi sirna atau tidak ada. Tidak ada orang yang memberikan petunjuk atau informasi blok atau kampung Sukasirna menjadi Sukasari dan saat ini kampung tersebut menjadi sebuah dusun yaitu Dusun Sukasari dan Blok Sukasirna merupakan bagian dari Dusun Sukasari.
Menurut penelusuran Sejarah Kepemimpinan Pemerintahan Desa Cimari secara berurutan yaitu dipimpin oleh:
Periode 1932 - 1938
Periode 1938 - 1946
Periode 1946 - 1954
Periode 1954 - 1962
Periode 1962 - 1970
Periode 1970 - 1978
Periode 1981 - 1986
Periode 1978 - 1981
Periode 1986 - 1994
Periode 1994 - 2002
Periode 2002 - 2008
Periode 2008 - 2013
Periode 2013 - 2017
Periode 2017 - 2018
Periode 2018 - sekarang
Desa Cimari memiliki aparatur desa yang Profesional dan Berdedikasi tinggi dalam melayani masyarakat.
Desa Cimari adalah Desa di Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Desa Cimari sudah menerapkan sistem Desa Milenial dalam aspek Pemerintahan, Pelayanan Masyarakat dan Ekonomi.